Peran Adat dalam Kepemilikan Tanah: Kajian Budaya dan Sosial
Di berbagai penjuru Indonesia, terutama di wilayah yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, sistem kepemilikan tanah tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh hukum adat. Hukum adat menjadi instrumen sosial yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bentuk pengakuan terhadap kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hingga akhir 2024, terdapat lebih dari 26,5 juta hektare wilayah adat yang telah berhasil didaftarkan (sumber: pastibpn.id). Ini mencerminkan pengaruh besar adat dalam tata kelola agraria di Indonesia. Sistem adat tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap dari hukum positif, namun dalam praktiknya menjadi sumber utama hukum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat.
Artikel ini bertujuan mengulas secara komprehensif peran adat dalam kepemilikan tanah dari sisi budaya dan sosial. Anda akan diajak memahami bagaimana adat menjadi mekanisme pengaturan hak atas tanah, nilai sosial yang melekat, serta tantangan harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara.
Hukum Adat sebagai Mekanisme Kepemilikan
Tanah dalam perspektif adat bukan sekadar properti yang bisa diperjualbelikan. Dalam banyak komunitas, tanah dianggap sebagai warisan leluhur dan simbol keberlanjutan kehidupan. Sistem ini dikenal dengan istilah "hak ulayat", yaitu hak kolektif masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang mereka kuasai secara turun-temurun.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, pemerintah mengakui hak ulayat sepanjang masih ada dan diakui masyarakat. Ini menjadi landasan penting dalam menjaga eksistensi hukum adat. Dalam pelaksanaannya, kepemilikan atas tanah adat seringkali tidak tercatat secara formal, tetapi dihormati dalam struktur sosial masyarakat adat. Pengelolaan tanah dilakukan secara kolektif di bawah otoritas kepala adat atau lembaga adat.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 65% konflik agraria di Indonesia melibatkan tanah adat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengakuan negara terhadap praktik hukum adat yang telah lama berlangsung.
Struktur Sosial Adat dan Akses atas Tanah
Dalam sistem adat, struktur sosial memiliki peran sentral dalam menentukan siapa yang berhak menggunakan, mengelola, dan memelihara tanah. Sebagai contoh, dalam masyarakat Minangkabau, sistem matrilineal memberikan hak waris tanah kepada perempuan, sementara laki-laki berperan sebagai pengelola.
Di Bali, tanah desa adat dikelola oleh krama desa berdasarkan nilai parahyangan, pawongan, dan palemahan. Setiap anggota komunitas memiliki hak dan kewajiban yang setara terhadap tanah adat, tetapi tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial dan spiritual yang kuat.
Sistem semacam ini menciptakan keterikatan emosional antara individu dan komunitasnya dengan tanah. Kepemilikan tanah tidak bersifat eksklusif, melainkan mencerminkan kesatuan dan identitas kolektif.
Fungsi Sosial dan Budaya Tanah dalam Adat
Tanah dalam konteks adat memiliki makna yang lebih luas dibandingkan sebagai aset ekonomi. Ia adalah bagian dari struktur kosmologis masyarakat. Dalam banyak upacara adat, tanah menjadi tempat pelaksanaan ritual sakral seperti pemakaman, upacara panen, dan pemujaan leluhur.
Fungsi sosial ini juga terlihat dalam pembagian lahan pertanian secara musyawarah, penggunaan tanah untuk fasilitas umum seperti balai adat, dan larangan menjual tanah ke pihak luar tanpa persetujuan kolektif. Nilai-nilai ini mengakar kuat, bahkan menjadi tolok ukur moral seseorang dalam komunitasnya.
Penelitian oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat bahwa pemahaman terhadap fungsi spiritual dan sosial tanah adat merupakan kunci dalam menyelesaikan sengketa agraria di daerah-daerah yang kental dengan sistem adat.
Konflik Tanah dan Ketimpangan Pengakuan
Sayangnya, pengakuan negara terhadap hukum adat masih belum merata. Banyak konflik agraria terjadi akibat tidak sinkronnya antara sistem hukum negara dan sistem adat. Proyek pembangunan berskala besar seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, atau pembangunan infrastruktur seringkali dilakukan di atas tanah ulayat tanpa melalui persetujuan masyarakat adat.
Contoh nyata terjadi di Papua, di mana masyarakat adat kehilangan akses atas tanah mereka akibat konsesi yang diberikan tanpa dialog. Di Kalimantan dan Sulawesi, konflik antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan kerap menimbulkan kekerasan sosial.
Masalah utama dari konflik ini adalah ketiadaan bukti formal berupa sertifikat. Hukum positif menuntut dokumen tertulis, sementara adat mengandalkan pengakuan lisan dan penguatan dari komunitas.
Upaya Legalitas dan Inisiatif Perlindungan Hak Adat
Dalam dua dekade terakhir, berbagai inisiatif telah dilakukan untuk memperkuat legalitas tanah adat. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 membuka jalan bagi pengakuan hak pengelolaan wilayah adat, meski implementasinya masih menemui tantangan di lapangan.
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) juga membuka peluang bagi masyarakat adat untuk meregistrasikan tanah mereka secara kolektif. Namun proses ini memerlukan sinergi yang kuat antara pemerintah daerah, lembaga adat, dan organisasi pendamping.
Beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Bali, dan Papua Barat telah menunjukkan kemajuan dengan membentuk Peraturan Daerah (Perda) khusus pengakuan wilayah adat. Ini menjadi preseden penting bagi daerah lain agar dapat mengikuti langkah serupa.
Modernisasi: Tantangan dan Adaptasi
Meskipun nilai-nilai adat masih bertahan, modernisasi menjadi tantangan baru. Mobilitas sosial, tekanan ekonomi, dan perubahan gaya hidup turut memengaruhi keberlangsungan sistem adat. Banyak generasi muda yang mulai kehilangan keterikatan dengan nilai tanah sebagai simbol budaya.
Namun, tidak sedikit komunitas adat yang mulai berinovasi dengan menggabungkan sistem hukum adat dan hukum negara. Misalnya, pemanfaatan teknologi peta partisipatif dan dokumentasi digital untuk memperkuat bukti hak ulayat di mata hukum formal.
Inisiatif seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah melakukan pelatihan bagi komunitas untuk memperjuangkan hak mereka di tingkat nasional. Pendekatan ini menunjukkan bahwa adat bukanlah sistem statis, melainkan dapat beradaptasi dan berkembang dalam kerangka hukum modern.
Peran adat dalam kepemilikan tanah tidak dapat dipandang sebelah mata. Ia menyimpan nilai-nilai luhur yang tidak hanya berfungsi mengatur pemanfaatan tanah, tetapi juga menjadi penopang identitas budaya dan stabilitas sosial. Anda sebagai pembaca yang peduli terhadap isu budaya dan agraria, penting untuk memahami bahwa keberadaan hukum adat bukanlah bentuk resistensi terhadap negara, melainkan bagian dari mosaik kebangsaan Indonesia.
Mengharmonisasikan sistem adat dan hukum nasional menjadi langkah strategis dalam menciptakan keadilan agraria yang berpihak pada rakyat. Dengan begitu, pembangunan tidak akan menghapus sejarah, melainkan memperkuat fondasi sosial yang telah teruji oleh waktu.
Posting Komentar untuk "Peran Adat dalam Kepemilikan Tanah: Kajian Budaya dan Sosial"